Biografi sastrawan "Ajip Rosidi"


Ajip Rosidi di mata rekan-rekannya sesama pencinta sastra dan kebudayaan merupakan sosok yang lengkap, paripurna. Selain dikenal sebagai sastrawan Sunda, Ajip juga dikenal sebagai sosok yang memperkaya sastra Indonesia dan memperkenalkan kebudayaan Sunda di dunia internasional. Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage itu juga dinilai sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi dalam banyak hal. Salah satunya, polarisasi antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional

Pulang dari Jepang, setelah tinggal selama 22 tahun, Ajip Rosidi merasa gamang. Kegamangan itu dipicu oleh kekhawatiran adanya pengkultusan terhadap dirinya. Juga kegamangan akan nasib budaya tradisional yang terus terlindas oleh budaya global. “Saya merasa ngeri karena saya mendapat kesan bahwa saya hendak dikultuskan sehingga timbul pikiran menciptakan Ajip-Ajip baru. Saya ngeri karena saya khawatir hal itu menimbulkan rasa takabur”, katanya.

Redaktur PN Balai Pustaka periode 1955-1956 ini dikenal sangat konsisten dalam mengembangkan kebudayaan daerah. Terbukti, Hadiah Sastra Rancage penghargaan untuk karya sastra Sunda, Jawa dan Bali masih rutin dikeluarkan setiap tahun sejak pertama kali diluncurkan tahun 1988.

Ajip juga dikenal sebagai juru bicara yang fasih menyampaikan tentang Indonesia kepada dunia luar. Hal ini ia buktikan ketika bulan April 1981 ia dipercaya mengajar di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Jepang, serta memberikan kuliah pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto (1982-1996), Tenri Daigaku di Nara (1982-1995), dan di Asahi Cultural Center. Di Negeri Matahari Terbit itu, seminggu Ajip mengajar selama 18 jam dalam dua hari. Lima hari sisanya ia habiskan untuk membaca dan menulis. Ia mengaku, Jepang memberinya waktu menulis yang lebih banyak ketimbang Jakarta. Maklum, ia tidak disibukkan mengurus kegiatan-kegiatan lain yang cukup menyita waktu, sebagai Ketua DKJ perode 1972-1981, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia, Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya, maupun Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya periode 1968-1979. Hasilnya, lebih dari 50 judul buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ditulisnya selama di Jepang.

Satu hal yang mengesankan Ajip tentang masyarakat Jepang adalah kesadaran mereka akan pentingnya sastra dalam hidup mereka. Menurutnya, sastra tidak hanya menjadi bahan konsumsi para sastrawan atau budayawan, tetapi juga telah menjadi bahan bacaan para dokter atau arsitektur. Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang amat bangga dengan bahasanya sendiri, tetapi hal itu tidak membuat mereka antibahasa asing. Minat orang Jepang terhadap studi-studi Indonesia juga cukup kuat. Jurusan Bahasa Indonesia (Indoneshia-go Gakuka) sudah ada di Tokyo Gaikokugo Daigaku sejak tahun 1949.

Selama mengajar di Jepang, Ajip tidak pernah kekurangan mahasiswa. Di Osaka Gaidai, ia mengajar rata-rata 30 mahasiswa setiap tahun, 40 mahasiswa di Kyoto Sangyo Daigaku, dan 60 mahasiswa di Tenri Daigaku. “Saya mengajar bahasa Indonesia, sastra Indonesia, budaya Indonesia dan Islam di Indonesia”, katanya. Beberapa muridnya kini sudah menjadi presiden direktur dan manajer pada perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Namun, Ajip mencatat, tingginya gairah dan minat mereka terhadap bahasa asing bergantung pada kepentingan terhadap negara yang dipelajari itu. Ketika perekonomian Indonesia berkembang, perhatian orang Jepang terhadap bahasa Indonesia meningkat. “Sekarang Indonesia ambruk, perhatian juga berkurang. Ada beberapa universitas yang tadinya punya jurusan bahasa Indonesia, sekarang dan diganti dengan Cina”, katanya.

Kendati telah menghabiskan sebagian hidupnya di negeri orang, Ajip tidak kehilangan pijakan pada kebudayaan daerah Indonesia. Hadiah Sastra Rancage yang lahir sejak tahun 1988 terus berjalan rutin setiap tahun. “Saya mulai dengan serius, dan saya usahakan dengan serius. Ternyata banyak yang membantu. Orang mau membantu kalau dilaksanakan secara professional”, tuturnya mengenai ketaat-asasan Hadiah Sastra Rancage.

Namun, di tengah derasnya arus globalisasi, Ajip menyimpan sebersit kekhawatiran mengenai nasib kebudayaan-kebudayaan daerah. Bagi dia, globalisasi lebih banyak mengorbankan budaya-budaya daerah Hal ini terjadi karena serbuan budaya global sulit diimbangi kebudayaan daerah. Budaya global didukung oleh modal kuat serta teknologi tinggi, sedangkan kebudayaan daerah hanya bisa bertahan secara tradisional karena tidak ada yang menyediakan modal. Menurut Ajip, hal itu merupakan suatu pertarungan yang tidak adil. “Saya kira kita tidak mengharapkan bahwa pemeliharaan kebudayaan daerah itu harus dilakukan pemerintah. Pengalaman saya membuktikan bahwa tidak bisa mengharapkan pemerintah”, ujar budayawan yang sudah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar periode 1953-1955 pada usia 15 tahun.

Oleh karena itu, banyak sastrawan dan budayawan Indonesia menyambut dengan sukacita kedatangan Ajip ke Tanah Air. Ia pun telah merancang dengan sejumlah agenda menghidupkan kembali kebudayaan daerah agar tidak hanya mampu bertahan, melainkan juga bisa berkembang. Wujud konkretnya, antara lain dengan mendirikan Pusat Studi Sunda bersama para sastrawan dan budayawan Sunda. Selain itu, Ajip masih tetap akan berkutat dengan kegiatan membaca dan menulis. Untuk itu, suami Hj Patimah ini pun tinggal di Magelang, Jawa Tengah. “Saya berlindung kepada Allah, mudah-mudahan dijauhkan dari rasa takabur. Mudah-mudahan saya selalu diberi kesadaran bahwa apa yang saya lakukan hanyalah sebiji sawi”.

Nama:
Ajip Rosidi

Lahir:
Jatiwangi, Majalengka,
 Jawa Barat,
31 Januari 1938

Karier :
Pendiri Pusat Studi Sunda (2003)
 Pengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (Osaka Gaidai), Osaka, Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto
(1982-1996),
 Tenri Daigaku di Nara
 (1982-1995),  
Asahi Cultural Center, Jepang,
Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage,
Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981)
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia,
Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya,
Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Budaya Jaya
 (1968-1979),
Redaktur PN Balai Pustaka (1955-1956,)
Pemimpin Redaksi Majalah Suluh Pelajar (1953-1955)

Penghargaan :
Habibie Award (2009),
Doctor Honoris Causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra UNPAD, Bandung (2011)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi sastrawan "Godi Suwarna"

membuat pepes ikan (Bahasa sunda)

Sinosis Novel Di bawah Lindungan Ka'bah